"Tapi aku cinta kamu, Satria," katanya saat kita duduk ditaman disekitar kampusku. Suaranya gemetar dan terputus-putus. Matanya yang memelas memandang langsung ke mataku, memohon agar aku mau memaafkannya.Aku tak mengenal mata ini yang pernah memberiku rasa nyaman dan aman. Matanya yang biru dan hangat yang dulu menentramkan hatiku dengan rasa cinta yang abadi, kini digantikan dengan mata kelabu yang dingin. Tubuhku gemetar dan aku berpaling.
Pikiranku melayang kemasa setahun yang lalu, saat-saat bahagia, saat aku juga merasakan kehangatan nafasnya. Pada hari itulah aku memutuskan untuk menyerahkkan hatiku pada keajaiban cinta. Aku berupaya mengucapkan kata-kata dengan lantang untuk pertama kali nya. Aku ingin berteriak keseluruh dunia bahwa hatiku serasa lebih besar daripada seluruh tubuhku, bahwa aku sedang jatuh cinta dan bahwa tak ada yang bisa merampas perasaan itu, namun tak ada yang keluar dari mulutku. Saat aku terdiam, dengan lembut ia meletakan tangannya pada lenganku dan menatapku. Tatapannya yang lembut menenangkan hatiku.
Tapi, kekuatan itu telah hilang, aku mengingatkan diriku sendiri. hal itu mengembalikan diriku dari kenangan masa lalu ke saat kini, seperti tamparan pada wajahku.
Sekarang aku duduk dalam keheningan, kupikir, kubayangkan dekapannya, memelukku erat, membereskan segala masalah seperti yang sering dilakukannya dimasa lalu disaat aku membutuhkan hiburannya. Sekarang, lebih-lebih lagi, aku mendambakan kenyamanan pelukannya dan ketenangan tatapan mata birunya yang hangat. Tapi tak mungkin karena rasa percayaku telah hilang dan cinta kami telah ternodai. Tatapan matanya tidak lagi biru, hangat, dan pelukannya tidak lagi membuatku nyaman.
Sekarang aku berupaya menemukan kata-kata yang kutahu harus kukatakan, bukan seperti sebelumnya ketika aku tahu bahwa kata-kataku akan membawa kita kesuatu tempat ajaib dalam perjalanan cinta kami. Sekarang aku berupaya menemukan kata-kata yang akan mengakkhiri perjalanan itu. Bukan karena cintaku padanya telah direngut. Hanya saja aku tahu bahwa hatiku tidak akan pernah lagi dapat terasa lebih besar daripada seluruh tubuhku saat aku sedang bersamanya. Saat ia bangkit untuk pergi, rasa sakit dihatiku begitu berat kurasakan, dan harus kutahan diriku untuk tidak memohonnya agar kembali. Aku tahu aku telah melakukan hal yang benar. Aku tahu diriku kuat, meskipun pada saat ini aku sama sekali tidak merasa kuat.
Aku duduk terpaku lamasetelah kepergiannya, satu-satunya gerakan ditaman itu hanyalah rintikan air hujan yang jatuh membasahiku dan melembabkan jeans dibagian pahaku. Entah bagaimana aku dapat bertahan padahal separo diriku terasa lenyap. Dan aku pun menanti. Aku menantikan waktu untuk menyembuhkan luka hatiku dan membuatku bangkit kembali, supaya aku dapat menapaki perjalanan yang baru, jalanku sendiri, jalan yang akan membuatku utuh kembali.
Labels: Is our choice
0 comments:
Posting Komentar